Tiga WNA Nigeria Dipindahkan ke Rudenim Balikpapan, Terjaring Operasi Imigrasi Tanpa Dokumen

Redaksi Kaltimdaily
3 Jul 2025 17:52
2 menit membaca

BALIKPAPAN — Rumah Detensi Imigrasi atau Rudenim Balikpapan menerima pemindahan tiga warga negara asing (WNA) asal Nigeria dari Rudenim Jakarta, Rabu malam (2/7/2025).

Ketiga pria tersebut berinisial EDC, OE, dan EU. Mereka resmi menyandang status sebagai deteni atau tahanan imigrasi.

Kepala Rudenim Balikpapan, Danny Ariana, menyebut pemindahan ini merupakan langkah strategis untuk mengatasi overkapasitas yang terjadi di Rudenim Jakarta.

“Pemindahan dilakukan demi menjaga keamanan dan ketertiban. Rudenim Jakarta sudah penuh sesak,” ungkap Danny dalam konferensi pers, Kamis (3/7/2025).

Menurutnya, kepadatan deteni berisiko memicu konflik. Maka dari itu, Balikpapan menjadi lokasi alternatif yang dianggap lebih aman dan longgar kapasitasnya.

Sementara itu, Kepala Rudenim Jakarta, Slamet Wahyuni, menjelaskan ketiga WNA Nigeria itu diamankan saat Operasi Wira Waspada oleh Direktorat Jenderal Imigrasi.

“Mereka masuk ke Indonesia dengan dokumen sah. Tapi saat diperiksa, tak bisa menunjukkan dokumennya,” jelas Slamet.

Awalnya, mereka ditahan di ruang detensi Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok. Karena pemeriksaan melampaui batas tujuh hari, mereka dipindahkan ke Rudenim Jakarta, lalu akhirnya ke Balikpapan.

Slamet menambahkan, ketiga deteni sudah cukup lama tinggal di Indonesia—antara satu hingga dua tahun. Namun, belum juga menunjukkan itikad untuk pulang.

“Koordinasi dengan Kedutaan Besar Nigeria cukup sulit. Tidak seperti negara-negara Eropa yang lebih responsif,” tegasnya.

Selain kendala diplomatik, proses pemulangan juga terhambat karena biaya tiket kepulangan ditanggung sendiri oleh deteni. Hal ini jadi tantangan tersendiri bagi petugas.

Ketiganya dinyatakan melanggar Pasal 119 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, karena berada di Indonesia tanpa dokumen dan visa yang sah.

Akibatnya, mereka terancam hukuman penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp500 juta.

“Kami tetap berupaya memfasilitasi proses deportasi secepatnya,” pungkas Slamet.

[SYR]

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *