BONTANG — PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) terus melangkah menuju industri ramah lingkungan. Lewat anak usahanya, PT Kaltim Industrial Estate (KIE), PKT menjalin kerja sama dengan PT Kaltim Methanol Industri (KMI) untuk mengembangkan industri rendah karbon di Bontang, Kalimantan Timur.
Langkah ini dinilai sebagai terobosan nyata dalam mendukung transisi energi bersih dan pengurangan emisi karbon. Direktur Operasi Pupuk Kaltim, F. Purwanto, menyebut kerja sama ini bagian dari strategi dekarbonisasi yang sejalan dengan visi keberlanjutan perusahaan.
“Kerja sama ini tidak hanya operasional, tapi juga transformasional. Kami ingin ubah emisi jadi energi,” ujarnya, Rabu (26/6).
Dalam kerja sama ini, Pupuk Kaltim menyuplai karbon dioksida (CO₂) dari proses produksi amonia dan urea. CO₂ tersebut lalu dialirkan oleh KIE melalui infrastruktur khusus, dan dimanfaatkan KMI sebagai bahan baku tambahan untuk meningkatkan produksi metanol.
Selama ini, CO₂ dari industri pupuk dianggap sebagai limbah atau emisi proses. Tapi kini, emisi itu justru diolah kembali untuk jadi bahan bakar sintetis berbasis karbon.
“Ini bukti nyata bahwa industri bisa ikut menyelamatkan iklim,” tegas Purwanto.
Selain mengurangi emisi ke atmosfer, pemanfaatan ulang CO₂ ini juga membantu menciptakan energi baru yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Direktur Utama KIE, Muhammad Erriza, menyebut kerja sama ini sebagai bentuk sinergi konkret dalam mendukung agenda nasional dan global.
“Bukan cuma memperkuat kerja sama antarperusahaan, tapi juga mempercepat transisi energi dan pengurangan emisi,” ucapnya.
Senada, Direktur Utama KMI, Futhosi Urai, mengatakan suplai CO₂ akan berdampak signifikan terhadap efisiensi dan kapasitas produksi metanol.
“Ini strategi jangka panjang kami untuk menjadikan industri metanol lebih efisien, berkelanjutan, dan kompetitif secara global,” jelasnya.
Lewat kolaborasi ini, ketiga perusahaan berharap Bontang bisa menjadi pionir kawasan industri rendah karbon di Indonesia.
Langkah ini juga mendukung target nasional pengurangan emisi sesuai komitmen Paris Agreement dan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
“CO₂ yang dulu dianggap masalah, sekarang jadi solusi,” tutup Purwanto. [RIL]
Tidak ada komentar