Pelaku AMZ dalam kasus pemerasan seksual daring, sambil tertunduk menyampaikan permintaan maaf atas perbuatannya. (Syahrul)
BALIKPAPAN — Seorang pria muda asal Balikpapan berinisial AMZ (20) ditangkap Subdit Siber Polda Kalimantan Timur. Ia diduga melakukan pemerasan dan pelecehan seksual secara daring terhadap seorang remaja perempuan asal Swedia berusia 15 tahun.
Penangkapan ini menyelamatkan korban sekaligus mencegah pelaku dijerat proses hukum internasional yang bisa membawanya ke meja hijau di luar negeri.
Kasus ini bermula dari laporan ibu korban ke Divisi Hubungan Internasional Polri. Sang ibu meminta perlindungan hukum karena anaknya menjadi korban grooming dan sextortion oleh seseorang yang diduga berasal dari Indonesia.
“Polda Kaltim berhasil selamatkan korban dan sekaligus menyelamatkan pelaku agar tak diproses di Swedia,” ujar Kabid Humas Polda Kaltim, Kombes Pol Yuliyanto, Rabu (16/7).
Karena pelapor berdomisili di luar negeri, proses hukum di Indonesia tidak bisa dilakukan dengan mekanisme biasa. Maka, polisi memilih jalur restorative justice—berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dan kerja sama lintas negara.
“Kalau diproses di Swedia, pelaku bisa diekstradisi. Tapi karena keluarga korban berbesar hati, hal itu tak dilakukan,” kata Yuliyanto.
Penyidikan dilakukan dengan dukungan dari Interpol, Kedutaan Besar RI di Stockholm, dan Polisi Swedia.
Wadir Reskrimsus Polda Kaltim, AKBP Meilki Bharata, mengungkapkan bahwa penyelidikan telah dimulai sejak awal Juni 2025. Pelaku akhirnya ditangkap pada 15 Juli 2025 di kawasan Jalan Mulawarman, Balikpapan Timur.
Barang bukti yang diamankan antara lain: 2 unit ponsel Android; 1 unit laptop Asus; 5 akun Gmail; Akun media sosial: Instagram, WhatsApp, TikTok, Discord; Akun permainan: Roblox; Bukti transaksi via PayPal
Kasubdit Siber Kompol Ariansyah menjelaskan, awalnya pelaku berkenalan dengan korban lewat game Roblox, lalu berpindah ke Discord dan email.
“Pelaku membangun hubungan seperti sahabat dekat agar korban percaya,” jelas Ariansyah.
Korban akhirnya mengirim 10 foto dan 20 video bermuatan asusila dalam rentang waktu Juli 2024 hingga dua hari sebelum penangkapan.
Pelaku lalu meminta uang sebesar USD 500, dan sempat menerima USD 50 dari ibu korban.
Setelah dilakukan forensik digital, polisi memastikan bahwa konten-konten yang dikirim korban belum disebarkan oleh pelaku. Karena itu, unsur pidana penyebaran konten sebagaimana diatur dalam UU ITE belum terpenuhi.
“Kami memilih menyelesaikannya lewat restorative justice karena korban tinggal di luar negeri dan tak bisa membuat laporan resmi di Indonesia,” tegas Ariansyah.
Polda Kaltim mengimbau masyarakat, terutama orang tua, agar lebih waspada terhadap aktivitas anak di dunia maya.
“Kasus ini jadi peringatan. Media sosial dan game online bisa jadi pintu masuk kejahatan siber,” pungkas Yuliyanto. [SR]
Tidak ada komentar